BUDAYA POSITIF DI SEKOLAH
(BAYU IRAWAN)
Melalui pemikiran Ki Hajar Dewantara, beliau memiliki keyakinan bahwa untuk
menciptakan manusia Indonesia yang beradab, maka pendidikan menjadi salah satu
kunci utama untuk mencapainya. Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan
bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan. KHD
juga mengingatkan bahwa dalam menuntun kodrat anak harus disesuaikan dengan
kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam adalah lingkungan alam tempat peserta
didik berada baik itu kultur budaya maupun kondisi alam geografisnya. Sedangkan
kodrat zaman adalah perubahan dari waktu kewaktu. KHD mengingatkan juga bahwa
pengaruh dari luar tetap harus disaring dengan tetap mengutamakan kearifan
lokal budaya Indonesia. Atau bisa dikatakan muatan atau konten pengetahuan
yang diadopsi sejatinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara antara lain
beliau menanamkan akan adanya cipta rasa dan karsa yang berjalan selaras
sehingga pengajaran seyogyanya harus berpihak pada peserta didik. Dan dengan
berpedoman pada semboyan beliau " ING NGARSO SUNG TULADHA, ING MADYA
MANGUN KARSA, TUT WURU HANDAYANI ", yang berarti sebagai seorang pendidik
sewajibnya bisa memberikan contoh yang baik bagi peserta didiknya, memberi dan
membangkitkan semangat dan mendorong peserta didik agar mempunyai ketrampilan
sekaligus pengetahuan yang baik, berbudi pekerti serta mempunyai jiwa
patriotisme / semangat dalam membangun bangsa.
Pendidikan
adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam
masyarakat kebangsaaan. Ki Hajar
Dewantara membuat 2 koneksi yang tidak bisa dipisahkan, yaitu pendidikan
dan kebudayaan, 2 hal tersebut merupakan koneksi yang utuh. Untuk mencapai
kebudayaan yang kita impikan kita memerlukan penddikan sebagai landasannya.
Pendidikan adalah landasan untuk pembentukan kebudayaan suatu bangsa.
Pendidikan yang kita lakukan adalah tidak hanya untuk memberikan nilai anak
yang bagus, menyampaikan suatu pelajaran tapi juga untuk menjemput kebudayaan
yang kita inginkan. Jadi pekerjaan guru adalah pekerjaan untuk membentuk
peradaban.
Jika pendidikan
kita lakukan secara seimbang, maka akan menghasilkan kesempurnaan budi
pekerti dan membawa anak kepada kebijaksanaan. Pendidikan adalah pendidik yang
memandang anak dengan rasa hormat.
Akar pemikiran Ki Hajar
Dewantara yang saya pelajari menempatkan kemerdekaan sebagai syarat dan juga
tujuan membentuk kepribadian serta kemerdekaan batin bangsa Indonesia agar
peserta didik selalu kokoh berdiri membela perjuangan bangsanya. Untuk itu, di
mata Ki Hajar Dewantara, bahan-bahan pengajaran harus disesuaikan dengan
kebutuhan hidup rakyat. Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan tidak boleh
dimaknai sebagai paksaan. Beliau menginginkan peserta didik harus mengunakan
dasar tertib dan damai, tata tenteram dan kelangsungan kehidupan batin,
kecintaan pada tanah air menjadi prioritas. Karena ketetapan pikiran dan batin
itulah yang akan menentukan kualitas seseorang. Memajukan pertumbuhan budi
pekerti, pikiran merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, agar
pendidikan dapat memajukan kesempurnaan hidup. Yakni, kehidupan yang selaras
dengan perkembangan dunia tanpa meninggalkan jiwa kebangsaan.
Di sekolah saya, banyak guru yang masih hanya
berfokus pada daya cipta (SMK) dan kurang memahami kebutuhan peserta
didiknya, hal tersebut harus segera diubah. Dalam konteks
kelas banyak guru di sekolah saya yang memberikan hukuman ke siswanya pada saat
proses pembelajaran di kelas. Padahal dari pemikiran Ki Hajar Dewantara
beliau tidak memberikan hukuman-hukuman
kepada siswa, lebih sabar dalam membimbing, mengenali lebih dalam karakter dan
latar belakang siswa (keluarga/lingkungan) dengan menjalin komunikasi dengan
orang tuanya. Sebelum mempelajari pemikiran-pemikiran
Ki Hajar Dewantara, saya percaya bahwa dengan tindakan-tindakan tegas dan
menghukum siswa bisa merubah perilakunya. Tapi perubahan yang
terjadi cuma didasari oleh rasa takut dan bersifat sementara, bukan atas
kesadaran pribadinya. Saya belum sepenuhnya menyadari akan keberadaan kodrat
alam sang anak, sehingga sering jengkel ketika ada anak yang lamban dalam satu
pelajaran.
Setelah mempelajari
pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara, pemikiran yang berubah dari saya adalah
bahwa saya harus membangun budaya positif di sekolah saya sehingga hal tersebut
dapat membawa perubahan tidak hanya kepada peserta didik namun juga kepada
sekolah.
Ketika
mendengar kata “disiplin”, apa yang terbayang di benak Anda? Apa yang terlintas
di pikiran Anda? Kebanyakan orang akan menghubungkan kata disiplin dengan tata
tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan. Kata “disiplin” juga sering
dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda, karena belajar tentang
disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu adalah salah
satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak digunakan sama sekali.
Dalam
budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan
seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung
menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan, padahal jika disiplin
dilakukan dengan tepat keadaannya tidak seperti itu. Bapak Pendidikan kita, Ki
Hajar Dewantara menyatakan bahwa “dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada
disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan
sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap
melakukan self discipline, wajiblah
penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di
dalam suasana yang merdeka. (Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi,
Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470)
Disitu
Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks
pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya
adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin
diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi
internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau
motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita
sendiri.